Ikon Kesultanan Langkat di Kota Tanjung Pura sebagai Destinasi Utama Kabupaten Langkat

Ikon Kesultanan Langkat di Kota Tanjung Pura sebagai Destinasi Utama Kabupaten Langkat

Ikon Kesultanan Langkat di Kota Tanjung Pura sebagai Destinasi Utama Kabupaten Langkat

Halo semuanya!

Beberapa waktu lalu kita sudah tahu nih pembagian wilayah kota Tanjung Pura yang terdiri atas 3 kawasan dengan perwakilan etnis besar didalamnya. Nah, kali ini kita akan membahas ikon peninggalan budaya Kesultanan Langkat yang tersisa dan berdiri kokoh di kota Tanjung Pura.

Gambar Masjid Azizi 1903

Sumber : Arsip Leiden

Gambar  Masjid Azizi 2022

Sumber : Kamera Handphone

Berdasarkan umur bangunan dan serta sejarah yang sudah berumur 100 tahun lebih, masjid ini memang sepatutnya dilestarikan, keunikannya terlihat dari ornamen melayu yang diterapkan pada fasad pada bangunan serta warna kuning sebagai warna melayu. Bangunan ini didirikan tahun 1899 dan selesai tahun 1902, memiliki dimensi 25 x 25 meter dengan ketinggian puncak kubah 30 meter. Memasuki komplek Masjid banyak sekali peninggalan arsitektur yang menarik dan memiliki nilai historis yang kuat, seperti kubah Masjid bersegi delapan, menara, dan perpustakaan T. Amir Hamzah. Sedangkan permasalahan adalah kurangnya pengolahan lansekap pada komplek masjid dimana ruang terbuka yang luas dibiarkan kosong tanpa ada vegetasi. Sama halnya dengan bangunan Museum, Masjid Azizi ini juga merupakan salah satu peninggalan warisan sejarah Kesultanan. Oleh karena itu pedoman yang dilakukan untuk pelestarian area dan bangunan adalah adanya konsep penghubung seperti area Masjid dan area Istana atau sebelumnya Museum dan alun-alun, yang mana menunjukkan keterkaitan antara area satu dengan lainnya sebagai satu kawasan peninggalan sejarah Kesultanan Melayu.

Dimensi fisik dan arsitektural Masjid Azizi memadukan keindahan seni dari Eropa, Persia, Cina dan Arab. Sementara itu, nuansa Melayu tetap terlihat dari beberapa bagian masjid ini. Akan tetapi, tidak semuanya mengandung nuansa Melayu secara khas. Paling tidak, menurut Suparman, nuansa Melayu terdapat pada ruang masuk masjid, pada dinding-dinding di ruang utama masjid, mimbar, mihrab, menara, dinding-dinding eksterior, jendela dan pintu masjid. Keindahan Masjid Azizi menginspirasi Sultan Kedah dalam mendirikan Masjid Zahir di Alor Setar Kedah, Malaysia. Arsitektural Masjid Azizi berbeda jika dibandingkan dengan masjid-masjid yang ada di Indonesia pada umumnya. Kubahnya berjumlah 22 dan terbuat dari tembaga berwarna hitam serta memiliki beragam tipe. Kubah-kubah tersebut terdiri atas satu kubah induk, tiga buah kubah teras, empat kubah sudut, serta empat belas kubah piramida berukuran kecil. Arsitektur Masjid Azizi juga diperindah dengan pilar-pilar tinggi dengan motif pelengkung di atasnya layaknya masjid-masjid di Timur Tengah. Sisi keunikan masjid ini juga terletak pada menaranya dengan tinggi 35 meter dan dilengkapi dengan 120 anak tangga. Warna Masjid Azizi menunjukkan ciri khas Melayu, yakni kuning. Meskipun warna hijau dan putih serta warna tambahan lainnya seperti biru, cokelat dan keemasan menghiasi ornamenornamen masjid ini. Adapun komponen catnya didatangkan dari Malaysia. Menurut Abdurrahman, Sultan Abdul Aziz mampu menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembangunan Masjid Azizi Tanjung Pura. Salah satu kearifan lokal tersebut termanifestasi dalam lima unsur kekuatan masyarakat Melayu Langkat, yaitu kekuatan pemimpin (umara), ahli agama (`ulama), cerdik pandai (zumra), orang kaya (agniya) dan kekuatan doa orang miskin (fuqara). (Dahlan & Asari, 2020)

Mesjid Azizi yang berada di area sosial budaya terlihat cukup terawat, namun hal ini tidak terlihat pada elemen lain bangunan seperti pagar, fasum, pedestrian dan ruang terbukanya; tujuan: Melestarikan kembali ruang dan bentuk yang memiliki nilai sejarah dan budaya untuk mengembalikan identitas kawasan; Melestarikan kembali identitas kultural kawasan untuk mengangkat nilai properti pada kawasan; dan Melestarikan warisan budaya untuk membentuk suatu lingkungan dan komunitas yang berlanjut (sustainable).

Usaha pelestarian budaya kawasan ini dilakukan dengan beberapa strategi sebagai berikut :

  1. Penggunaan konsep adaptive re-use pada bangunan historis;
  2. Merancang densitas tinggi di sekitar bangunan bersejarah dan jalan raya;
  3. Membuat isyarat sejarah melalui fasad bangunan historis;
  4. Standarisasi desain bangunan baru dan prosedur penghancuran bangunan historis; dan,
  5. Insentif pendanaan untuk pelestarian dan adaptive re-use banguan historis.

Gambar  Museum Tanjung Pura

Sumber : Kamera Handphone

Bangunan ini didikan pada 1909, dulunya bangunan ini dijadikan sebagai tempat pengadilan pada masa Kesultanan Langkat, setelah kemerdekaan Indonesia bangunan ini dijadikan gedung Pancasila yang selanjutnya pada tahun 2002 menjadi Museum daerah Kabupaten Langkat. Namun kondisi sekarang sudah tidak aktif, hal ini terlihat dari bangunannya sudah tidak terpelihara padahal dalam RTRW 2013-2033 bangunan museum adalah termasuk bangunan pelestarian cagar budaya. Renovasi yang dilakukan pada objek warisan budaya Kesultanan Melayu ini, sebagai upaya pelestarian sejarah untuk menvitalkan area tersebut. Perancangan menghubungkan area ini dengan area ruang terbuka (alun-alun) yang merupakan perpaduan konsep path and node dengan simpul-simpul yang merupakan titik pertemuan pada tiap-tiap aktivitas.

Pada masa sekarang telah dibangun taman Tengku Amir Hamzah yang dapat dijadikan sebagai kunjungan warga lokal atau non-lokal sebagai spot foto ataupun beristirahat. Pada bagian ini terdapat pajangan profil Tengku Amir Hamzah sebagai pahlawan nasional dan karya-karyanya sebagai penyair sekaligus pejuang penggunaan bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia sewaktu Sumpah Pemuda.

Di kawasan Pecinaan sendiri bangunan pertokoan hanya bisa dilakukan pada bagian belakang bangunan, sehingga fasade depan dangunan pertokoan dapat dipertahankan kelestariannya. Pelestarian yang dapat dilakukan pada pertokoan lama di Kawasan Pecinaan ini adalah penataan lebih terhadap fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal dan pertokoan biasa namun dapat dimanfaatkan sebagai penginapan murah (home stay) sehingga dapat memberikan nilai ekonomi. Bagi masyarakat dimana wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Pecinaan ini akan dapat menikmati budaya kehidupan masyarakat Tionghua dan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner. Kondisi lain yang harus perbaikan adalah tinggi level muka jalan dan sistem drainase. Tinggi muka jalan saat ini telah mengalami perubahan ketinggian yang sangat besar menyebabkan muka lantai bangunan pertokoan semakin rendah dan hal ini menyebabkan bangunan pertokoan sering mengalami banjir. Untuk itu perlu adanya perencanaan drainase yang baik dikawasan ini dan folder yang pada masa lampau dijadikan sebagai penampung air hujan akan dikembalikan fungsinya seperti awal.

Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan pada bangunan-bangunan Belanda sendiri adalah dengan cara rehabilitasi. lingkungan di kawasan Belanda juga harus dilakukan penataan untuk meningkatkan kualitas lingkungannya dengan cara tindakan konservasi tidak langsung (Preservation of Deterioration).

Oke sekian artikel kali ini. Tugas kita saat ini adalah menjaga dan mengupayakan agar dua ikon besar ini dapat masuk situs cagar budaya Nasional dan Dunia yang dilestarikan.

Daftar Pustaka

Dahlan , Z., & Asari, H. (2020). Sejarah Keagamaan dan Sosial Masjid-Masjid Tua Di Langkat. Jurnal Lektur Keagamaan , 333 – 364.

 

Share post:

  • /

Leave a Reply